Kamis, 10 Mei 2012

ULUM AL-QUR`AN DAN PERKEMBANGANNYA

Imam Irfa'i Dakwah dan Komunikasi IAIN Raden Fatah Palembang MAKALAH PENGANTAR ULUM AL-QUR`AN DAN PERKEMBANGANNYA PENGANTAR ULUM AL-QURAN DAN PERKEMBANGANNYA A. Pendahuluan Pembicaraan mengenai ulum al-Qur`an akan menjadi bahasan yang menarik kita kaji dalam makalah ini, sebagai makalah perdana dalam Mata Kuliah Ulum al-Qur`an. Makalah ini tentunya masih membahas secara global mengenai apa itu ulum al-Qur`an, kenapa ulum al-Qur`an itu ada, siapakah tokoh sejarah yang berjasa dalam pengembangan ulum al-Qur`an, apa saja objek yang akan dibahas dalam ulum al-Qur`an, serta bagaimana mengaflikasikan ulum al-Qur`an dalam kehidupan sehari-hari sebagai praktisi pendidikan di sekolah. B. Pokok Bahasan 1. Pengertian ‘Ulum al-Qur`an Kata ulum al-Qur`an berasal dari bahasa Arab, terdiri dari kata ulum dan al-Qur`an. Kata ulum merupakan bentuk jamak dari ilmu yang secara etimologis berarti pemahaman, ma’rifah dan pengetahuan. Al-Qur`an secara etimologis diambil dari قرا يقرا قران sewajan dengan kata فعلا ن berarti, bacaan. Dalam pengertian ini kata قران berarti مقروء yaitu isim maf’ul ( objek ) dari قرا . Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18: ••       •   Artinya,”Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18). Sedangkan al-Qur`an secara terminologis terdapat beberapa pengertian sebagaimana di tuliskan Ash-Shidiqie sebagai berikut : o Ahli Ushul Fikih menyatakan Al-Qur`an adalah nama bagi keseluruhan Al-Qur`an dan nama untuk bagian-bagiannya. o Ahli ilmu kalam menyatakan Al-Qur`an adalah kalimat-kalimat ghaib yang azali sejak dari awal al-Fatihah sampai akhir an-Nas , yaitu lafaz-lafaz yang terlepas dari sifat kebendaan, baik secara dirasakan, dikhayalkan ataupun lain-lainnya yang tersusun pada sifat Allah yang qadim. o As-Syuyuthy dalam kitab Al-Itman, Al-Qur`an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad yang tidak dapat ditandingi oleh yang menantangnya walaupun sekedar satu ayat saja, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya. o Asy-Syaukani dalam Al-Irsyad, Al-Qur`an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad yang ditilawahkannya dengan lisan lagi mutawatir penukilannya.[1] Dengan melihat beberapa pengertian tentang Al-Qur`an, penulis menyimpulkan bahwa Al-Qur`an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw yang membacanya merupakan ibadah. Hal ini dengan dasar Al-Quran merupakan informasi yang langsung dari Allah dan diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Wahyu Allah yang diberikan kepada selain dia tidak disebut Al-Qur`an, seperti kepada Nabi Musa disebut kitab Taurat. Membacanya merupakan ibadah sebagai pembeda antara Al-Qur`an dengan Al-Hadis, karena hadis keluar dari Nabi, tetapi membacanya tidak termasuk ibadah. Pengertian ulum dan Al-Qur`an jika digabung menjadi ulum Al-Qur`an , maka secara etimologi adalah segala ilmu yang berhubungan dengan al-Qur`an. Dengan pengertian ulum Al-Qur`an secara etimilogi, maka akan tercakup di dalamnya berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan al-Qur`an,seperti ‘Ilmu Tafsir al-Qur`an, Ilmu Qiraat, Ilmu Rasm al-Qur`an, ilmu I’jaz al-Qur`an, ilmu Asbab an-Nuzul, ilmu Nasikh wa al-Mansukh, ilmu I’rab al-Qur`an, ilmu Gharib al-Qur`an, Ulum ad-Din, ilmu Lughah dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut merupakan sarana dan cara untuk memahami al-Qur`an. Ulum al-Qur`an ini sering juga disebut ushul al-Tafsir (dasar-dasar tafsir ), karena membahas beberapa masalah yang harus dikuasai seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan al-Qur`an. Untuk lebih jelasnya pengertian ulum Al-Qur`an dapat dikaji dari berbagai sumber para ahli ulum Al-Qur`an. Menurut Manna’ al-Qaththan , Ulum al-Qur`an adalah ilmu yang menghasilkan pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur`an baik dari segi pengetahuan asbab an-nuzulnya, pengumpulan al-Qur`an dan susunannya, makkiyah, madaniyah, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih dan sebagainya yang dihubungkan dengan pembahasan al-Qur`an. [2] Secara istilah ulum al-Qur`an menurut sebagian ahli ilmu adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur`an dari segi hidayah dan I’jaz. Maka secara langsung ulum al-Qur`an hanya mencakup ilmu-ilmu Syari’ah dan Arabiyah saja, sedangkan ilmu-ilmu kauniyah seperti ilmu Falak, Ekonomi, Kimia dan sebagainya tidak termasuk ke dalam ulum al-Qur`an, karena ilmu-ilmu tersebut hanya bersifat tentatif untuk memecahkan suatu teori terkini. Menurut Kitab Manahil al-Irfan yang dikutif Hasbi ash Shiddieqy, Ulum al-Qur`an merupakan pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur`an dari segi nuzul, tertib, mengumpulkan, menulis, membaca, menafsirkan, I’jaz, nasikh mansukh, menolak syubhat-syubhat yang dihadapkan kepadanya dan sebagainya. [3] Dengan melihat pengertian ulum al-Qur`an dalam kitab Manahil al-Irfan maka dapatlah dikatakan cakupan Ulum al-Qur`an adalah ilmu-ilmu yang berhubungan langsung dengan kajian al-Qur`an baik dari segi tafsir, asbab an-nuzul, penulisan al-Qur`an, Qiraat, kemukjizatan, nasikh mansukh serta sanggahan-sanggahan terhadap serangan yang dilancarkan kaum orientalis terhadap kitab Al-Qur`an. Sedangkan menurut penulis dengan melihat dan mengkaji pengertian ulum al-Qur`an baik secara etimologi maupun terminologi, maka ulum al-Qur`an adalah segala ilmu Diniyah dan Arabiyah yang erat kaitan dengan intisari ajaran al-Qur`an baik dari segi penulisan, cara membaca, menafsirkan, asba an-Nuzul, nasikh mansukh, kemukjizatan maupun ilmu-ilmu sebagai sanggahan terhadap serangan atau yang melemahkan kemurnian al-Qur`an baik ditinjau dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur`an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan aspek keperluan membahas al-Qur`an. Ulum al-Qur`an ini akan berkembang sesuai perkembangan waktu yang semakin kompleks dan global. Ulum al-Qur`an ada karena perkembangan masalah yang berhubungan dengan al-Qur`an baik dari sisi riwayah mapun dirayahnya. Hal ini tidak terlepas dari fungsi al-Qur`an sebagai pedoman hidup umat Islam. Maka sebagai pedoman hidup dari segi al-Qur`annya tidak bertambah, akan tetapi dari segi sarana yang dapat membantu memahami al-Qur`an semakin hari semakin berkembang. Contoh ketika Al-Qur`an masih berada di kalangan bangsa Arab, al-Qur`an masih berupa tulisan yang tidak dilengkapi sakal. Padahal sakal ini sangat dibutuhkan bagi kalangan non Arab, untuk membantu cara membaca, memahami al-Qur`an supaya tidak keliru. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa tujuan mempelajari ulum al-Qur`an ini adalah antara lain sebagai berikut: a. Memperoleh keahlian dalam mengistimbath hokum syara’ baik mengenai keyakinan atau I’tiqad , amalan, budi pekerti maupun lainnya. b. Memudahkan umat Islam dalam membaca, memahami kandungan al-Qur`an. c. Mengurangi perbedaan pemahaman-pemahaman yang prinsipil. d. Menggali kandungan yang terdapat dalam al-Qur`an e. Menguatkan keimanan dan solidaritas terhadap ajaran al-Qur`an. f. Menjelaskan kelebihan-kelebihan al-Qur`an sebagai wahyu Allah bila dibandingkan dengan kitab suci lainnya. g. Mempersenjatai diri dari serangan yang melemahkan al-Qur`an dari waktu ke waktu. 2. Objek Pembahasan Ulum al-Qur`an Dengan menganalisa pengertian ulum al-Qur`an baik secara etimologi maupun terminologi maka tergambarlah objek yang akan menjadi kajiannya. Secara garis besar objek kajiannya adalah sebagai berikut: a. Sejarah dan perkembangan ulum al-Qur`an Sejarah dan perkembangan ulum al-Qur`an ini meliputi rintisan ulum al-Qur`an pada masa Rasulullah Saw, sahabat, tabi’in, tabi it-tabi’in, dan perkembangan selanjutnya lengkap dengan nama-nama ulama dan karangannya di bidang ulum al-Qur`an di setiap zaman dan tempat. b. Pengetahuan tentang al-Qur`an. Pengetahuan tentang al-Qur`an ini meliputi makna al-Qur`an, karakteristik al-Qur`an, nama-nama al-Qur`an, wahyu turunnya al-Qur`an, Ayat Makkiyah dan Madaniyah, asbab an-nuzul, dan sebagainya. c. Metodologi penafsiran al-Qur`an Metodologi penafsiran al-Qur`an ini meliputi pengertian tafsir dan takwil, syarat-syarat mufassir dan adab-adabnya, sejarah dan perkembangan ilmu tafsir, kaidah-kaidah dalam penafsiran al-Qur`an, muhkam dan mutasyabih, ‘am dan khas, nasikh wa mansukh, dan sebagainya. 3. Ruang lingkup pembahasan ulum al-Qur`an Ulum al-Qur`an mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas, meliputi semua ilmu yang ada kaitan dengan al-Qur`an, baik berupa ilmu-ilmu diniyah seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab seperti balaghah dan ilmu I’rabi al-Qur`an. Di samping itu masih banyak ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab al-Itqan, Assuyuthi menuliskan cabang ulum al-Qur`an ada 80, di mana tiap-tiap cabang terdapat beberapa cabang ilmu lagi.[4]. Sedangkan menurut Abu Bakar Ibnu al-Araby,yang dikutif Muhammad abu al-Fadhil Ibrahim, dalam kitab Al Burhan fi Ulum al-Qur`an Az Zarkasyi , cabang ulum al-Qur`an terdiri dari 77.450 cabang ilmu.[5]. Hal ini berdasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-Qur`an dikalikan empat baik makna dzahir, bathin, terbatas dan tidak terbatas. Perhitungan ini jika ditinjau dari sudut mufradatnya, adapun jika dilihat dari maknanya maka tidak akan terhitung jumlahnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur`an Surat al-Kahfi: 109:                   Artinya”Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". Ruang lingkup ulum al-Qur`an ini menjadi berkembang dan semakin kompleks sesuai dengan kebutuhan yang perlu segera diselesaikan dalam pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur`an. Akan tetapi dalam perkembangannya, ulum al-Qur`an selalu berpegang kepada sumber-sumber dasar hukum Islam sebagai berikut: a. Al-Qur`an al-Karim Al-Qur`an terkadang memuat ayat yang global, akan tetapi dijelaskan secara terperinci pada ayat lainnya baik membatasi atau mengkhususkannya, inilah yang disebut tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an. b. Nabi Muhammad Saw. Beliau yang bertugas menjelaskan al-Qur`an. Karena itu wajar jika para sahabat bertanya kepada beliau ketika mendapakan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Di antara kandungan ayat al-Qur`an terdapat ayat yang tidak dapat diketahui takwil kecuali penjelasan Rasulullah Saw, misalnya rincian tentang perintah shalat. c. Para Sahabat Para sahabat merupakan orang paling dekat dan tahu dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Riwayat dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah Saw cukup menjadi acuan dalam pengembangan ilmu-ilmu al-Qur`an. d. Pemahaman dan Ijtihad Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al-Qur`an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah Saw, dan banyak perbedaan di kalangan para sahabat, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Hal ini mengingat mereka adalah orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, dan mengetahui dengan baik aspek-aspek yang ada di dalamnya. Sedangkan ruang lingkup ulum al-Qur`an ini bila ditinjau dari segi pokok bahasannya secara garis besar terdapat dua kelompok besar yaitu: a) Ilmu Riwayah, yaitu ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti yang membahas tentang macam-macam qiraat, tempat turun ayat-ayat al-Qur`an, waktu-waktu turunnya, dan sebab-sebabnya. b) Ilmu Dirayah, yaitu ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafaz yang gharib serta mengetahui ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum. Namun Hasby lebih memerinci tentang ruang lingkup ulum al-Qur`an yang secara garis besar terdiri dari persoalan sebagai berikut: a) Persoalan turunnya al-Qur`an, yaitu pembahasan menyangkut tempat dan waktu turun ayat al-Qur`an, seperti makkiyah, madaniyah, hadlariyah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiyah. b) Persoalan sanad, yaitu pembahasan menyangkut sanad yang mutawatir, ahad, syadz, bentuk qiraat nabi, para periwayat dan para penghapal al-Qur`an dan cara tahammul ( penerimaan riwayat). c) Persoalan qiraat , yaitu pembahasan yang menyangkut waqaf, ibtida, imalah, mad, takhfif hamzah, idgham. d) Persoalan kata-kata al-Qur`an, yaitu pembahasan yang menyangkut lafaz al-Qur`an seperti gharib, mu’rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah dan tasybih. e) Persoalan makana-makna al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum, yaitu pembahasan yang menyangkut ‘amm, khass, nash, dlahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih,musykil, nasikh mansukh. f) Persoalan makna al-Qur`an yang berkaitan dengan kata-kata al-Qur`an, yaitu pembahasan yang menyangkut lafaz yaitu fashal, washal, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr. [6] Dengan melihat ruang lingkup kajian ulum al-Qur`an baik dari yang sederhana sampai yang terperinci maka akan terlahir berbagai cabang disiplin ulum al-Qur`an, dan pada suatu waktu tidak menutup kemungkinan akan timbul perkembangan baru disiplin ulum al-Qur`an yang pada generasi sebelumnya belum ditemukan. Diantara cabang ulum al-Qur`an sebagai berikut: 1) Ilmu Tafsir, yaitu ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur`an. 2) Ilmu Mawathin al-nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat turunnya ayat, masanya, awal dan akhirnya, 3) Ilmu Tawarikh al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu dari awal turun hingga akhirnya dan tertib surat dengan sempurna. 4) Ilmu Asbab al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat. 5) Ilmu Qiraat, yaitu ilmu yang menerangkan rupa-rupa qiraat ( bacaan yang diterima dari Rasulullah Saw). 6) Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan cara membaca al-Qur`an, tempat mulai dan pemberhentiannya. 7) Ilmu Gharib al-Qur`an yaitu, ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan makna-makna kata yang halus, tinggi dan pelik. 8) Ilmu I’rab al-Qur`an yaitu ilmu yang menerangkan baris al-Qur`an dan kedudukan lafal dalam ta’bir ( susunan kalimat). 9) Ilmu Wujuh al-Nazhair, yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata al-Qur`an yang banyak arti, menerangkan makna yang dimaksud pada satu-satu tempat. 10) Ilmu ma’rifat al-Mukham wa al-Mutasyabih, yaitu ilmu yang menyatakan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyabih. 11) Ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian mufasir. 12) Ilmu Bada’al-Qur`an, yaitu ilmu yang membahas keindahan-keindahan al-Qur`an. Ilmu ini menerangkan kesusasteraan al-Qur`an, kepelikan dan ketinggian balaghahnya. 13) Ilmu I’daz al-Qur`an, yaitu ilmu menerangkan kekuatan susunan tutur al-Qur`an, sehingga dipandang sebagai mukjizat. 14) Ilmu Tanasub ayat al-Qur`an, yaitu ilmu yang menerangkan persesuaian suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. 15) Ilmu Aqsam al-Qur`an, yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah yang terdapat dalam al-Qur`an. 16) Ilmu Amsal al-Qur`an, yaitu ilmu yang menerangkan perumpamaan yang ada dalam al-Qur`an. 17) Ilmu Jidal al-Qur`an, yaitu ilmu untuk mengetahui rupa-rupa debat yang dihadapkan al-Qur`an kepada kaum musyrikin dan lainnya. 18) Ilmu Adab al-Tilawah al-Qur`an, yaitu ilmu yang mempelajari segala bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan di dalam membaca al-Qur`an, serta segala kesusilaan, kesopanan, dan ketentuan yang harus dijaga ketika membaca al-Qur`an. 19) Ilmu Terjemah Al-Qur`an. Cabang-cabang ulum al-Qur`an ini tidak terlepas dari faktor sejarah yang membentuknya dalam kurun waktu yang berlangsung lama. Tidak menutup kemungkinan cabang-cabang dari ulum al-Qur`an akan bertambah dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan-perkembangan spesifikasi ilmu yang membahas al-Qur`an. 4. Sejarah Timbulnya Ulum al-Quran Substansi ulum al-Qur`an apabila dilihat dari sejarah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Keterangan yang beliau berikan kepada para sahabat secara langsung mengenai wahyu yang diterima merupakan bagian dari materi ulum al-Qur`an. Namun ulum al-Qur`an sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri lahir pada abad ke-3 Hijriyah, ini pun masih diperdebatkan tergantung pada kitab yang dirujuk sebagai karya pertama dalam bidang ulum al-Qur`an. Hal ini tentu membutuhkan fakta sejarah berupa kitab yang membahas ulum al-Qur`an secara langsung. Istilah ulum al-Qur`an dengan arti yang lengkap baru lahir pada abad ke-3 Hijriyah, setelah seorang ulama bernama Ali Ibn Ibrahim ibn Said yang dikenal sebagai Al-Hufi, menyusun kitab setebal tiga puluh jilid yang bernama Al-Burhan fi ulum al-Qur`an. Beliau wafat pada tahun 330 Hijriyah. Kitab ini membahas tentang lafal-lafal yang gharib tentang I’rab dan tafsir. Di dalam kitabnya pengarang membicarakan ayat-ayat Al-Qur`an menurut tertib mushaf. Kemudian dia membahas secara terperinci dengan judul tersendiri pula. Judul yang umum disebut dengan al-Qaul, seperti al-Qaul fi Qaulihi Azza wa jalla, al-Qaul fi al-I’rab, al-Qaul fi ma’na wa al-tafsir, al-Qaul fi al-Waqfi wa al-tamam, al-Qaul fi al-Qiraat. Karya al-Hufi ini dianggap telah memenuh standar ulum al-Qur`an, karena cabang-cabang ulum al-Qur`an sudah dibahas di buku tersebut. Akan tetapi sebelum terbit kitab yang bernama ulum al-Qur`an tersebut dapat dilihat juga beberapa karakteristik yang mengarahkan pembahasan tentang ulum al-Qur`an baik yang tersirat maupun yang tersurat. Hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat Islam dari mulai yang sederhana pada zaman Rasulullah Saw sampai Islam mengalami perkembangan yang pesat ke seluruh benua di dunia ini. Sejarah perkembangan ulum al-Qur`an ini dibagi kepada beberapa periode sejarah sebagai berikut: a. Periode abad pertama dan kedua: pertumbuhan cikal bakal ulum al-Qur`an Pada masa Rasulullah Saw, para sahabat dapat merasakan keindahan uslub-uslub bahasa Arab yang tinggi dan memahami ayat-ayat yang terang dan jelas pengertiannya yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. Apabila terjadi kemusykilan, mereka segera bertanya kepada beliau, dan beliau langsung menjawabnya. Para sahabat pada saat itu tidak merasa perlu untuk menuliskan dalam ilmu-ilmu al-Qur`an karena segala permasalahan yang berhubungan dengan pemahaman, bacaan, maksud dan segala hal yang berhubungan dengan Al-Qur`an dapat ditanyakan langsung kepada Beliau. Hal ini juga didukung karena pada saat itu alat-alat tulis tidak mudah mereka peroleh. Selain itu juga pada masa Rasulullah Saw ada larangan untuk menuliskan apa yang mereka dengar dari Beliau selain dari Al-Qur`an, karena beliau khawatir akan bercampur antara Al-Qur`an dengan yang bukan Al-Qur`an. Kondisi masyarakat Islam pada masa Rasulullah Saw masih sederhana, dimana Islam masih seputar Makkah dan Madinah, sehingga problematika masyarakat tentang Al-Qur`an belum banyak mengalami kendala yang berarti. Hal ini akan berbeda jika Islam sudah menyebar ke seluruh pelosok dunia, kebutuhan akan penjelasan, tatacara membaca maupun hal-hal lainnya akan berkembang menjadi semakin kompleks, karena semakin luas suatu wilayah akan terdapat keaneka ragaman budaya, yang akan menimbulkan perbedaan-perbedaan pemahaman tentang Al-Qur`an. Pada masa Rasulullah Saw dalam banyak hal beliau memberi keterangan kepada para sahabat tentang makna ayat atau keterangan lain menyangkut al-Qur`an seperti tata urutan ayat dan lain-lain. Hal ini didasarkan kepada Nabi yang bertugas memberikan penjelasan mengenai apa yang diturunkan kepadanya. Pada masa Abu Bakar ra. dan Umar ra. Al-Qur`an disampaikan dengan jalan talqin dan musyafahah dari mulut ke mulut Sedangkan pada masa Usman bin Affan, Islam sudah semakin luas dan berkembang ke luar bangsa Arab, sehingga timbul bahasa-bahasa arab dan selain arab ( azam), ditambah lagi para penghafal Al-Qur`an dari kalangan sahabat sudah banyak yang gugur di medan perang dalam perluasan dan penyebaran Islam. Percekcokan dialek cara membaca Al-Qur`an sudah mulai ditemukan, Usman mengambl tindakan mengumpulkan para penghafal Al-Qur`an dan segera membentuk panitia penulisan Al-Qur`an dengan menunjuk sekretaris Rasulullah yaitu Zaid bin Sabit menjadi ketua panitia pembukuan Al-Qur`an. Pembukuan Al-Qur`an pada masa Usman ini dimotivasi karena banyak terjadi perselisihan di dalam cara membacanya, pada saat itu sudah berada pada titik umat Islam saling menyalahkan yang pada akhirnya terjadi perselisihan di antara mereka. Usman memutuskan dalam penulisan Al-Quran memperhatikan tulisan yang mutawatir, mengabaikan ayat yang bacaannya dinaskh dan ayat tersebut tidak dibaca kembali di hadapan nabi pada saat-saat terakhir, kronologis surat dan ayatnya seperti yang telah ditetapkan atau berbeda dengan mushaf abu bakar, system penulisan yang dugunakan mampu mencakup qira`at yang berbeda sesuai dengan lafaz-lafaz Al-Qur`an ketika diturunkan, dan semua yang bukan termasuk Al-Qur`an dihilangkan. Setelah proses pembukuan Al-Qur`an yang dikenal dengan mushaf Usmani atau Al-Mushaf, kemudian diperbanyak dan segera dikirim ke kota-kota besar yang penduduknya sudah menganut agama Islam, salah satu mushaf di simpan di kediaman Usman yang kemudian dikenal dengan Mushaf Al-Imam. Sedangkan naskah asli Al-Qur`an yang sebelumnya disimpan di rumah Hafsah, salah seorang janda dari Rasulullah Saw diperintahkan untuk dibakar untuk menghindari perbedaan-perbedaan mengenai Al-Qur`an yang lebih krusial lagi. Usman melarang membaca Al-Qur`an yang tidak bersumber dari Al-Mushaf tersebut. Tindakan Usman ini merupakan awal perkembangan ilmu rasm al-Qur`an. Istilah rasm Al-Qur`an atau rasm usmani adalah tatacara menuliskan Al-Qur`an yang ditetapkan pada masa khalifah Usman bin Affan. Istilah ini lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf usmani yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdurahman bin Al-Haris. Mushaf usmani ini menggunakan kaidah al-hadzf ( membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf), al-Ziyadah ( penambahan), al-Hamzah (salah satu kaidahnya berbunyi apabila hamzah berharakat sukun,ditulis dengan huruf yang berharakat yang sebelumnya), badal ( pengganti), washal dan fashal ( penyambungan dan pemisahan), dan kata yang dapat dibaca dua bunyi ditulis dengan menghilangkan alif. Pada Masa pemerintahan Ali ra., beliau memerintahkan Abu Aswad ad-Dualy ( wafat 69 H.) membuat beberapa kaidah untuk memelihara keselamatan bahasa Arab sebagai I’rab al-Qur`an. Maka dapatlah dikatakan bahwa Ali ra. merupakan tokoh pertama yang berjasa dalam peletakan ulum al-Qur`an di bidang I’rab al-Qur`an. Pada masa Rasulullah Saw dan sahabat, ilmu-ilmu dasar ulum al-Qur`an belum dibukukan. Faktor-faktor penyebabnya antara lain: 1) Kondisinya tidak membutuhkannya, karena kemampuan mereka yang besar, dan jika ada yang tidak dipahami maka langsung bertanya kepada Rasulullah Saw. Beliau akan menjelaskannya. 2) Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis. 3) Adanya larangan Rasulullah Saw untuk menulis selain al-Qur`an. Selain Khulafa Rasyidin, dari kalangan sahabat yang terkenal sebagai tokoh-tokoh ilmu yang merintis ilmu-ilmu al-Qur`an adalah sebagai berikut: 1) Ibnu Abbas 2) Ibnu Mas’ud 3) Zaid ibnu Sabit 4) Ubay ibnu Ka’ab 5) Abu Musa al-Asy’ari 6) Abdullah ibnu Zubair Sedangkan dari kalangan tabi’in sebagai generasi kedua setelah para sahabat, adalah: 1) Mujahid 2) Atha’ Ibnu Yasar 3) Ikrimah 4) Qatadah 5) Al-Hasan al-Bishri 6) Said ibnu Jubair 7) Zaid ibnu Aslam Di kalangan tabi’it- tabi’in adalah Malik bin Anas, beliau mengambil ilmu dari kalangan tabi’in yaitu Zaid ibnu Aslam. Pada abad ke satu ini, ulum al-Qur`an yang sudah berkembang meliputi ilmu tafsir, ilmu ghari al-Qur`an, ilmu asbab al-nuzul, ilmu makky wa al-madany, dan ilmu nasikh wa al-mansukh. Semua periwayatan pada masa ini masih disampaikan dengan cara didiktekan, belum sampai dibukukan. Pada abad ke dua, ulum al-Qur`an berkisar di sekitar tafsir al-Qur`an yang lebih dikenal sebagai kodifikasi pendapat-pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Pada abad ini para ulama memberikan prioritas perhatian kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-Ulum ( induk ilmu-ilmu al-Qur`an). Di antara beberapa ulama terkenal pada abad ini adalah sebagaiman ditulis Manna al-Qaththan adalah: Yazid bin Harun al-Silmi ( wafat 117 H), Syu’bah ibnu Hijaj ( wafat 160 H), Sufyan bin Uyainah ( wafat 198 H ), Abdu al-Razaq bin Hamam ( wafat 211 H). Akan tetapi ulama-ulama tersebut menafsirkan al-Qur`an berdasarkan hadis yang mereka terima. Namun sayang kitab tafsir mereka tidak sampai ke tangan kita. [7] Kemudian setelah itu muncullah salah satu tokoh terkenal ahli tafsir pada saat itu adalah Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat tahun 310 Hijriyah). Tafsirnya berkisar seputar tafsir bi al masyur atau tafsir bi al manqul dengan meliputi riwawat-riwayat yang shahih, I’rab, istinbath, dan pendapat para ulama. Setelah itu baru mulai ada ulama yang menafsirkan bi al-ra`yi. Di antara ulama yang terkenal pada akhir abad ke dua ini adalah Ali bin al-Madiny Syaikh al-Bukhari (wafat 234 Hijriyah) yang mengarang tentang Asbab al-Nuzul, Abu Ubed al-Qasim bin Salam ( wafat 224 Hijriyah) mengarang tentang al-Nasikh wa al-Mansukh, dan al-Qira`at, Ibnu Qutaibah ( wafat 276 Hijriyah) mengarang tentang Musykil al-Qur`an, Muhammad ibn Ayyub adh-Dhiris (wafat 294 H) tentang ilmu Ma Nuzilla bi al-Makkah wama Nuzzila bi al-Madina. Maka peletakan dasar ulum al-Qur`an yang sudah berkembang di pada saat itu di bidang: 1) Ilmu Tafsir 2) Ilmu Asbab an-Nuzul 3) Ilmu al-Makky wa al-Madany 4) Ilmu Nasikh wa al-Mansukh 5) Ummu al-‘Ulum al-Qur`aniyah. b. Periode abad ke Tiga Hijriyah Diantara kitab ulumal-Qur`an pada abad ke tiga Hijriyah ini, berkisar di sekitar pokok bahasan asbab an-nuzul, ilmu nasikh wa al-mansukh, ilmu ma Nuzzila bi al-makkah wama Nuzzila bi al-Madina. Tokoh-tokoh ulama yang menyusun kitab tersebut antara lain sebagai berikut: 1) Muhammad ibnu Khalaf ibn al-Marzuban (wafat 309 H), mengarab kitab al-Hawi fi ‘Ulum al-Qur`an. 2) Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim al-Anbary (wafat 328 Hijriyah) mengarang kitab ‘Ulum al-Qur`an. 3) Abu Hasan al-Asy’ary ( wafat 324 H), kitabnya bernama Al-Mikhtazan fi ulum al-Qur`an. 4) ‘Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi (wafat 330 Hijriyah) mengarang kitab I’rab al-Quran, dan al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran. 5) Abu Bakar al-Sijistani ( wafat 330 Hijriyah) mengarang kitab Gharib al-Qur`an. 6) Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad ibn Ali al-Karakhi (wafat 360 H), kitabnya bernama Nuqat al-Qur`an ad-Dallat ‘al al-Bayan fi anwa’ al-‘ulum wa al-ahkam al-minbi’at ‘an ikhtilaf al-anam. 7) Muhammad Ali al-Adfuwy (wafat 388 Hijriyah), mengarang kitab al-Istighna fi ‘Ulum al-Quran. Pada abad ke tiga inilah dijadikan sebagai abad ditemukannya kitab ulum al-Qur`an sebagi disiplin ilmu, jika berpedoman kepada kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an yang dikarang al-Hufy sebanyak 30 jilid, yang ditemukan seorang ulama, Syeikh al-Zarqani yang dikutif Manna al-Qathtan sebagai berikut,” Pembahasan ulum al-Qur`an secara menyeluruh dan lengkap dalam sebuah kitab diungkapkan oleh Syeikh Muhammad ‘Abdu al-Azim Al-Zarqany dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur`an yang ditemukan di sebuah perpustakaan Mesir ,dengan penulis Ali Ibrahim ibn Sa’id yang dikenal al-Hufy dengan nama kitab al-Burhan fi ulum al-Qur`an sebanyak 30 jilid, 15 jilid ditemukan tidak beraturan dan kurang berkaitan. Penulis menyusun ayat-ayat al-Quran kemudian dilengkapi dengan ulum al-Quran yang dibahas secara tersendiri, baik dari segi makna, tafsir bi al- ma`sur maupun bi al-ma’qul, segi waqaf dan tamam serta dari segi qira`at. Maka al-Hufi dianggap sebagai pendiri pertama Ulum al-Quran sebagai disiplin ilmu yang spesifik, beliau wafat 330 Hijriyah”.[8] Dengan ditemukannya bukti fisik kitab yang membahas ulum al-Qu`ran secara spesifik karangan al-Hufy maka ulum al-Qur`an sebagai disiplin ilmu sudah ada sejak abad ke-3 Hijriyah. c. Periode abad ke-4 Hijriyah Diantara kitab dan tokoh pengarangnya pada abad ke-4 adalah sebagai berikut: 1) Abu Bakar al-Baqilany ( wafat 403 Hijriyah), mengarang kitab I’jaz al-Qur`an. 2) Al –Mawardy ( wafat 450 Hijriyah ) mengarang kitab amsal al-Quran. 3) Abu Amar al-Dany ( wafat 444 Hijriyah), kitabnya bernama al-Taisir bi al-Qira`at al-Sabi’I dan kitab al-Muhkam fi al-Nuqath. d. Periode abad ke-5 Hijriyah Diantara tokoh ilmu al-Quran pada abad ke-5 Hijriyah ialah: 1) Abd Qasim Abd al-Rahman yang dikenal al-Suhaili ( wafat 582 Hijriyah), kitabnya bernama Muhammat al-Qur`an atau al-Ta’rif wa I’lam ubhima fi al-Qur`an min asma’ wa al-‘alam. 2) Ibnu Jauzy ( wafat 597 Hijriyah), kitabnya bernama Funun al-Afnan fi ‘Ajaib ‘ulum al-Qur`an dan kitab Al-Mujtaba fi ‘Ulumin Tata’allaq bi al-Quran. e. Periode abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah Diantara tokoh ilmu al-Quran pada abad ke- 6 dan 7 Hijriyah antara lain: 1) Alamuddin al-Syakhawy ( wafat 643 Hijriyah) , kitab bernama Hidayat al-Murtab fi al-Mutasyabih mengenai qira`at, dan kitab Jamal al-Qur`an wa kamal al-Iqra tentang qira`at, tajwid, waqaf, Ibtida`, nasikh dan mansukh. 2) Al-‘Iz ibnu Abdu al-Salam (wafat 660 Hijriyah) dengan kitab bernama Majaz al-Qur`an. 3) Ibnu Qayyim ( wafat 751 Hijriyah ) dengan kitab bernama Aqsam al-Quran. 4) Badrudin al-Zarkasyi ( wafat 794 Hijriyah) , mengarang kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran. Pada abad ke tujuh mulai tumbuh ilmu Bada’I al-quran, Ilmu Hujaj al-Quran yang kemudian hari dikenal Jadal al-Quran. Tokoh ulama yang menyusun kitab ulum al-Quran ini pada umumnya sudah melakukan penelitian satu persatu juz al-Qur`an. f. Periode abad ke-8, dan 9 Hijriyah Pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah ini telah lahir beberapa kitab ulum al-Quran, antara lain sebagai berikut: 1) Jalaludin al-Balqiyany, wafat 824 Hijriyah yang mengarang kitab Mawaqi’ al-‘Ulum min mawaqi’I al-Nuzum. 2) Muhammad ibnu Sulaiman al-Kafiyajy, wafat 873 Hijriyah, mengarang kitab al-Tafsir fi Qawaid al-Tafsir. Dalam kitab ini dijelaskan tentang syarat-syarat menafsirkan al-Qura`an dengan ra`yu. 3) Jalaludin al-Suyuthy, wafat 911 Hijriyah, mengarang kitab al-Tahbir fi ‘ulum al-Tafsir dan kitab terkenal al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`an. Dalam kitab ini terdapat 80 judul bahasan dari ulum al-Qur`an. g. Periode abad ke-13 dan 14 Hijriyah dan masa kini Di antara ulama yang berjasa di abad ke-13 dan 14 Hijriyah dalam perkembangan ulum al-Quran antara lain sebagai berikut: 1) Al-Syeikh Thahir al-Jazairy, kitabnya bernama al-Tibyan fi Ba’dh al-Mabahis al-Muta’aliqat bi al-Qur`an. 2) Jamaludin al-Qasimy, wafat 1332 Hijriyah, menulis kitab Mahasin al-Takwil. 3) Muhammad Abd Al-Azhim al-Zarqany, kitabnya bernama Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur`an. 4) Muhammad Ali Salamah, kitabnya bernama Manhaj al-Furqan fi ‘Ulum al-Qur`an. 5) Al-Syeikh Thanthawy Jauhary, kitabnya bernama al-Qur`an wa al-‘Ulum al-Ashriyah. 6) Mushtafa Shadiq al-Rafi’I, kitabnya bernama I’jaz al-Qur’an. 7) Sayyid Quthub, kitabnya bernama Al-Tashwir al-Faniyyu fi al-Qur`an. 8) Muhammad al-Gozaly, kitabnya bernama Nazharat fi al-Qur`an. 9) Muhammad Musthofa al-Maraghy, kitabnya bernama Al-Masalat Tarjamat al-Qur`an. 10) Dr. Shubhi al-Shalih, menulis kitab Mabahis fi ‘Ulum al-Qur`an. Kemudian diikuti Ahmad Muhammad Jamal yang menulis sekitar Maa’idah. 11) Muhammad Rasyid Ridha, kitabnya bernama Tafsir al-Qur`an al-Hakim yang terkenal dengan tafsir Al-Manar. Demikianlah beberapa kitab yang membahas ulum al-Quran baik secara langsung nama kitab bernama ‘ulum al-Qur`an atau secara tidak langsung yang merupakan salah satu cabang dari ‘ulum al-Quran. Dengan beberapa pokok bahasan kitab-kitab ulum al-Qur’an dari masa ke masa, maka perbendaharaan pembahasan tentang disiplin ilmu al-Quran semakin luas dan kompleks. Hal ini tentunya memberikan jalan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan dalam bidang al-Qur’an baik secara mandiri ataupun kolektif untuk selalu menggali ilmu-ilmu al-Qur`an. Perkembangan dari waktu ke waktu tentunya akan semakin kompleks karena kehidupan manusia semakin global. Bukan tidak mungkin serangan demi serangan untuk melemahkan al-Qur`an akan selalu datang. Seperti yang ada sekarang ini, Al-Qur`an dapat diakses siapa saja di internet baik itu Al-Qur`an digital, Al-Qur`an in word dan sebagainya, jika tidak dilengkapi ilmu dan kontrol dari lembaga tertentu mengenai ulum al-Qurannya, maka penyelewengan Al-Qur`an oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sangat terbuka lebar. 5. Aplikasi ‘Ulum al-Qur`an dalam pendidikan di sekolah Ulum al-Qur`an ini apabila diaplikasikan dalam pendidikan akan sangat bermanfaat, bila ditinjau dengan pendekatan manajemen pendidikan Islam. Bagaimana generasi muslim ini akan memiliki kemampuan menguasai ulum al-Quran, jika dasar utamanya saja menguasai baca tulis Al-Qur`an di sekolah masih mengalami hal yang krusial, di mana tingkat kemampuan anak untuk membaca dan menulis sangat beragam. Di sekolah umum seperti SD, SMP, SMP, SMA/SMK, yang notabene pendidikan agama Islam hanya berkisar 2 sampai 3 jam pelajaran perminggu bahkan materi Al-Quran hanya disampaikan dalam rata-rata 1 kompetensi dasar setiap semester , ini berarti hanya 12 kompetensi dasar materi al-Qur`an di SD, 6 kompetensi dasar di SMP yang harus dikuasai peserta didik di sekolah umum. Materi al-Qur`an merupakan salah satu aspek muatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang wajib diikuti oleh setiap peserta didik yang beragama Islam dalam kegiatan pembelajaran intrakurikuler di sekolah. Baca tulis al-Qur’an sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari tagihan kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah diarahkan untuk menyiapkan peserta didik supaya mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan kandungan al-Quran. Al-Qur’an bagi umat Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu hendaknya peserta didik sedini mungkin sudah mulai diajarkan menulis dan membaca al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid dan mahkrajnya serta diharapkan dapat memahami, kemudian mengamalkan isi ajarannya dalam setiap aktivitas keseharian. Namun sangat disayangkan, betapa ironisnya sebagian umat Islam tidak memiliki perhatian terhadap pelajaran Baca Tulis al-Qur’an sejak usia dini, sehingga banyak anak-anak Islam, remaja dan pemuda bahkan orang tua yang belum mampu Baca Tulis al-Qur’an. Padahal agama Islam mengajarkan bahwa membaca al-Qur’an merupakan salah satu ibadah. Baik dan benarnya bacaan al-Qur’an merupakan salah satu syarat kesempurnaan ibadah, sehingga Islam menekankan keutamaan membaca al-Quran. Rasulullah SAW bersabda: Diriwayatkan dari ‘Utsman bn ‘Affan ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain." (HR. Al-Bukhori) (Imam Nawawi, 1999: 116) Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah, maka ia memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali. Aku tidak katakan alif lam mim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf” (HRTirmidzi). Menurut Husni Rahim melalui hasil penelitiannya yang dipublikasikan menyebutkan bahwa terdapat 30% rata-rata peserta didik SMA/SMK belum dapat membaca al-Quran dengan baik dan benar. Jika di SMA/SMK demikian, hal ini tentu terkait erat dengan keadaan peserta didik di SMP yang juga masih banyak yang belum dapat membaca al-Quran dengan baik dan benar. Penyebabnya sangat beragam, antara lain: 1. Kurangnya perhatian orang tua dan lingkungan keluarga terhadap putra-putrinya dalam hal kemampuan baca tulis al-Quran. 2. Terbatasnya jam tatap muka Pendidikan Agama Islam di sekolah sebagaimana diatur dalam Permen nomor 22 tahun 2006, karena pelajaran baca tulis al-Qur’an hanya menjadi salah satu dari lima aspek mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) 3. Proses pembelajaran membaca dan menulis al-Qur’an dalam kegiatan intrakurikuler kurang berorientasi kepada peningkatan kemampuan membaca dan menulis al-Qur’an, karena proses pembelajarannya cenderung teoritis oriented seharusnya diberikan dengan memperbanyak praktikum dan latihan-latihan menulis, serta membaca al-Qur’an. 4. Masih rendahya motivasi dan minat peserta didik. Hal ini disebabkan kurangnya peserta didik memahami maksud dan tujuan membaca dan menulis al-Qur’an, bahkan pelajaran ini bagi mereka kurang menarik karena dianggap tidak begitu penting. 5. Masih banyak tenaga pendidik belum dapat menggunakan metode yang tepat dan praktis dalam menyampaikan pelajaran baca tulis al-Qur’an . 6. Perkembangan global dan kemajuan dalam bidang teknologi, informatika, dan telematika yang ditandai dengan munculnya berbagai produk sain dan teknologi serta derasnya arus budaya asing yang semakin menggeser minat untuk belajar Baca Tulis al-Qur’an. Akhirnya kebiasaan Baca Tulis al-Qur’an ini sudah mulai jarang terdengar di rumah-rumah keluarga muslim, yang ada adalah suara-suara radio, TV, Tape recorder, karaoke, dan lain-lain. 7. Faktor lingkungan dan masyarakat juga sering menjadi kendala bagi keberhasilan pembelajaran membaca dan menulis al-Qur’an. Sebagian orang tua dan masyarakat masih memandang dan bangga jika putranya berhasil dalam bidang matematika, bahasa inggris, olah raga dan lainnya ketimbang berprestasi dalam bidang membaca dan menulis al-Qur’an. Kondisi tersebut menuntut semua pihak agar secara bersama-sama dapat memberikan solusi, baik dari pemerintah, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dunia usaha, orang tua, tokoh masyarakat, maupun Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI). Bentuk solusi diarahkan untuk mengatasi keterbatasan jam tatap muka yang hanya 2 jam perminggu, termasuk pembelajaran Baca Tulis al-Quran di sekolah, oleh karena itu hendaknya: 1. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) perlu banyak mempelajari metode yang tepat dan praktis dalam memberikan pelajaran al-Qur’an disekolah. 2. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) perlu mengembangkan strategi yang inovatif dan kreatif dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan diadakannya program baca tulis al-Qur’an diluar jam tatap muka di kelas. 3. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dituntut untuk mampu memetakan, membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam hal membaca dan menulis al-Qur’an, memantau perkembangannya dengan selalu mengadakan penilaian secara kontinyu dan berkelanjutan. 4. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) mampu memperdayakan potensi yang ada disekolah maupun lingkungan masyarakat seperti peserta didik yang sudah mahir dijadikan tutor sebaya, guru mata pelajaran umum yang mampu memberikan pelajaran baca tulis al-Qur’an , alumni dan tokoh masyarakat lingkungan sekolah. 5. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) mampu memberikan motivasi kepada peserta didik betapa pentingnya pelajaran al-Qur’an dalam rangka memahami pendidikan agama Islam dalam rangka membentuk akhlakul karimah. 6. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) mampu membangun kerjasama dengan orang tua/wali peserta didik untuk mengarahkan putra/putrinya agar tidak banyak menonton tayangan televisi dan internet yang dapat mengganggu pelajaran sekolah. 7. Kepala Sekolah selalu memberikan dorongan moril maupun materil kepada pendidik di sekolahnya terutama kepada Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dalam upaya menciptakan suasana lingkungan sekolah yang religius dan berakhlak mulia. 8. Orang tua/wali peserta didik dapat memasukkan putra/putrinya ke Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA) atau madrasah diniyah atau pengajian al-Qur’an yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat yang ada dilingkungannya. 9. Pemerintah hendaknya memberikan dukungan/support berupa kebijakan yang mewajibkan peserta didik menguasai kompetensi baca tulis al-Qur’an sebagai prasyarat penerimaan peserta didik baru pada setiap jenjang satuan pendidikan dalam bentuk sertifikasi. C. Penutup Demikianlah sekelumit makalah pangantar ulum al-Qur`an dan perkembangannya. Makalah ini dirasakan masih banyak kekurangan di sana sini karena keterbatasan dalam referensi yang didapatkan penulis. Untuk itu saran-saran dari teman-teman mahasiswa kami sangat mengharapkan dalam rangka perbaikan makalah ini. Daftar Foot Note 1. Ash-Shidiqie, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2010, Cet-3, h. 1-2. 2. Al Qaththan, Manna’ , Mabahis fi ulum al-Qur`an, Riyad, cet-3, 1973, h. 15. 3. Ash-Shidiqie, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, 1994. h. 4. As-Suyuthi, Jalaludin, Al-Itqan fi ulum al-Qur`an, Linabon, Darl Fikr,h.4-7.. 5. Ibrahim, Abu Fadhil Muhammad, Al Burham fi Ulum al-Qur`an, Kairo, 1957, Daru at Turas, Jilid 1. h. 17. 6. Ash-Shidiqie, Hasby, Sejarah dan pengantar ilmu al-Qur`an, Bulan Bintang, Jakarta, 1994. h. 7. Al Qaththan, Manna’, Ibid, h. 12. 8. Ibid. h. 12. DAFTAR PUSTAKA 1. Al Qaththan, Manna’ , Mabahis fi ulum al-Qur`an, Riyad, cet-3, Tahun, 1973 2. Ash-Shidiqie, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, Tahun 1994.. 3. Ash-Shidiqie, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, Tahun 2010, Cet-3, 4. As-Suyuthi, Jalaludin, Al-Itqan fi ulum al-Qur`an, Linabon, Darl Fikr,.. 5. Chairani Idris dan Tasyrifin Karim, Buku Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-kanak/Taman Pendidikan Al-Qur’an, DPP BKPRMI Masjid Istiqlal Kamar 13, Jakarta, 1996 6. Ibrahim, Abu Fadhil Muhammad, Al Burham fi Ulum al-Qur`an, Kairo, Daru at Turas, 1957 ,Jilid 1.

Makalah Pengantar Filsafat Ilmu

Makalah Pengantar Filsafat Ilmu

ILMU DAN FILSAFAT







PAPER
Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Hukum

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si






Disusun oleh :
IMAM MUCHANI
NIM :





PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA  ISLAM NEGERI ( IAIN )
RADEN FATAH PALEMBANG
2012

ILMU DAN FILSAFAT

A. PENDAHULUAN
Manusia dilahirkan ke alam dunia ini dalam keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian Allah menganugerahkan kepadanya tiga potensi, yaitu pendengaran (al-sam’a), penglihatan (al-abshar), dan akal/qalb (al-af’idah) . Ketiga potensi yang dimiliki manusia tersebut harus senantiasa diasah untuk mencapai kesempurnaan insani (insani kamil).
Manusia yang mempunyai keinginan untuk menjadi manusia paripurna akan berusaha optimal untuk memuaskan rasa tidak tahunya dan Allah SWT telah menyiapkan bekal berupa tiga potensi tadi, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati. Ketiga potensi tersebut harus digunakan utuk mencari, menggali informasi dan mengoptimalkan segenap potensi sehingga akan terpuaskan rasa ingin tahunya.
Sebagai suatu illustrasi tengok saja bagaimana Qabil yang kebingungan, tatkala saudaranya Habil sudah dalam keadaan mati terbunuh olehnya, kemudian Allah memperlihatkan dua burung yang sedang berkelahi dan salah satu diantaranya mati, kemudian burung yang masih hidup menguburkannya dengan cara mencakar-cakar tanah agar bangkai burung tersebut dapat dimasukan ke dalamnya. Seolah terinspirasi, Qabil melakukan hal yang sama, dia keruk-keruk tanah membentuk satu lubang sehingga jasad Habil dapat dimasukan ke dalamnya .
Dari peristiwa tersebut – terlepas dari benar atau salah perbuatan Qabil – terkandung sebuah pelajaran (hikmah) bahwa Qabil yang asalnya tidak mempunyai pengetahuan tentang penguburan jenazah dapat menyaksikan fragmen yang Allah suguhkan melalui kedua burung yang sedang berkelahi. Sehingga penulis menarik kesimpulan bahwa potensi penglihatan, pendengaran, dan hati yang dimiliki oleh manusia merupakan modal untuk mencapai sebuah pemahaman akan makna kehidupan dan kebenaran, baik melalui ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat (wisdom) maupun agama (religion).

B. ILMU
1. Ontologi (Hakikat) Ilmu
Menurut Beni Ahmad Saebani , Ilmu berasal dari Bahasa Arab yaitu “ilm” yang berarti pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan berbeda, ilmu merupakan akumulasi dari berbagai pengetahuan. Masih menurut Beni Ahmad Saebani yang mengutip pendapat Muhammad, Kata “ilm” terdiri dari tiga huruf yaitu ain, lam dan mim. Ketiga huruf tersebut memiliki makna tersendiri, yakni :
a. Huruf ain bentuknya di depan ibarat mulut yang posisinya terbuka, menandakan bahwa seseorang yang mencari ilmu pengetahuan tidak akan pernah merasa kenyang.
b. Huruf lam sesudah ain, tongkatnya panjang tidak terbatas. Ini memandakan seseorang yang mencari ilmu tidak mengenal batas usia, semua berhak melakukannya.
c. Huruf mim yang terletak diakhir setelah lam, menunduk pada kefakiran ilmunya. Ini menandakan seseorang yang mencari ilmu, meskipun ilmu telah diraihnya akan tetapi sikapnya selalu rendah hati (tawadhu).
Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari , ilmu pengetahuan adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistema mengenai kenyataan, struktur , pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ihwal yang diselidiki (alam, manusia dan agama) sejauh yang dapat dijangkau oleh daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset, dan eksperimental.
Dalam buku Pendidikan dalam Perspektif Islam, Ahmad Tafsir menterjemahkan ilmu dengan sains, yaitu sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dari riset terhadap objek-objek yang empiris, benar tidaknya suatu teori ditentukan oleh logis tidaknya dan ada atau tidaknya bukti empiris . sedangkan dalam buku Filsafat Ilmu, belaiau menegaskan bahwa pengetahuan sains adalah pengetahuan rasional empiris .
Dari tiga pendapat tadi dapat disimpulkan bahwa ilmu atau pengetahuan sain adalah akumulasi dari berbagai pengetahuan yang dimiliki manusia yang bersifat logis dan empiris. Dengan ilmu seorang manusia akan memperoleh kebenaran yang dicarinya, dan dengan ilmu juga seorang manusia akan terbebas dari ketidaktahuannya.

2. Cabang-cabang Ilmu
Menurut Endang Saifuddin Anshari secara garis besar ilmu pengetahuan terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam (Natural Sciences) :
1) Biologi
2) Antropologi Fisik
3) Ilmu Kedokteran
4) Ilmu Farmasi
5) Ilmu Pertanian
6) IlmuPasti
7) Ilmu Alam
8) Ilmu Teknik
9) Geologi
b. Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (Social Sciences)
1) Ilmu Hukum
2) Ilmu Ekonomi
3) Ilmu Jiwa Sosial
4) Ilmu Bumi Sosial
5) Sosiologi
6) Antropologi budaya dan sosial
7) Ilmu Sejarah
8) Ilmu Politik
9) Ilmu Pendidikan
10) Publistik dan Jurnalistik
c. Humaniora (Studi humanitas, humanities studies)
1) Ilmu agama
2) Ilmu filsafat
3) Ilmu bahasa
4) Ilmu seni
5) Ilmu jiwa

3. Epistemologi Ilmu
Berbicara tentang epistemologi ilmu (sain) dibicarakan pula objeknya, cara memperolehnya dan cara mengukur benar tidaknya .
a. Objek pengetahuan sain
Objek pengetahuan sain atau hal-hal yang dapat diteliti oleh pengetahuan sain adalah objek-objek yang empiris di antaranya : alam, tetumbuhan, hewan, manusia serta kejadian-kejadian yang mengitarinya. Dari penelitian yang dilakukan muncullah teori-teori tentang sain. Kemudian teori-teori tersebut dikelompokan dan muncullah struktur sain.
b. Cara memperoleh Pengetahuan sain
Perkembangan sain didorong oleh paham-paham filsafat yang terus berkembang yaitu :
 Humanisme : Paham yang menganggap bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Menurut mereka aturan harus dibuat bersumber pada sesuatu yang bersumber pada manusia , yaitu akal. Dari paham tersebutlah muncul paham Rasionalisme
 Rasonalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akallah alat pencari dan pengukur pengetahuan, apabila logis menurut akal, maka benar, dan apabila tidak logis menurut akal, maka dianggap salah. Tetapi acap kali pendapat orang berlainan terhadap satu kenyataan, maka lahirlah paham Empirisme.
 Empirisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris.Tetapi ternyata empirisme masih memiliki kekurangan, yaitu yang ditemukan dari empirisme masih bersifat umum, belum operasional dan belum dapat terukur Maka muncullah aliran Positivisme.
 Positivisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya dan dapat diukur. Positivisme sudah disepakati, tetapi masih belum ada alat untuk membedahnya, maka muncullah Metode Ilmiah.
 Metode Ilmiah adalah cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmu sehingga mencapai kebenaran, caranya sendiri bermacam-macam tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, apakah ilmu alam atau ilmu sosial .
Metode ilmiah terdiri dari beberapa bagian yaitu6 :
1) Pengumpulan (koleksi) data dan fakta
2) Pengamatan (observasi) data dan fakta
3) Pemilihan (seleksi) data dan fakta
4) Penggolongan (klasifikasi) data dan fakta
5) Penafsiran (interpretasi) datadan fakta
6) Penarikan kesimpulan umum (generalisasi)
7) Perumusan hipotesa
8) Pengujian (verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset, empiric dan eksperimen
9) Penilaian (evaluasi) menerima, menolak, menambah atau merubah hipotesa
10) Perumusan teori ilmu pengetahuan
11) Perumusan dalil atau hokum ilmu pengetahuan.

c. Ukuran kebenaran Pengetahuan sains
Mengukur kebenaran pengetahuan sains adalah dengan melakukan pengajuan hipotesis melalui sebuah penelitian, apabila hipotesisnya benar, maka akan logis, ada atau tidak adanya bukti empirisnya itu soal lain (garis bawah dari penulis) .

4. Aksiologi Ilmu
Aksiologi Ilmu pengetahuan atau fungsi menurut pendapat RBS Fudyartanta yang dikutip oleh Endang Saifuddin Anshari terdiri dari empat macam yaitu :
a. Fungsi Deskriptif : menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu objek atau masalah sehingga mudah dimengerti oleh peneliti
b. Fungsi Pengembangan : Melanjutkan hasil penemuan dan menemukan hasil penemuan yang baru.
c. Fungsi Prediksi : Meramalkan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi dan menyiapkan tindakan untuk mengatasinya.
d. Fungsi Kontrol : Berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.
C. FILSAFAT

1. Ontologi (Hakikat) Filsafat
Menurut Sutardjo A Wiramihardja yang dikutip oleh Beni Ahmad Saebani , secara etimologis filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dari Bahasa Inggris filsafat berasal dari kata philosophy, sedangkan Bahasa Yunani berasal dari kata philen atau philos dan sofien atau sophi. Socrates mengatakan bahwa filosof adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan. Filosof bukan orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksanaan.
Sedangkan menurut Harun Nasution yang dikutip oleh Zuhairini filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun dari dua kata yaitu philein yang berarti cinta dan sophos yang berarti hikmat (wisdom). Orang Arab memindahkan kata Yunani Philoshopia ke dalam bahasa mereka yaitu falsafa berwazan fa’lala.
Secara terminologis/ definisi, para ahli mempunyai definisi yang berbeda, menurut Zuhairini Filsafat adalah berfikir mengenai tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar persoalannya.
Zuhairini juga mengutip pendapat beberapa ahli diantaranya Plato, Aristoteles, Kant, Fichte dan Al-Farabi.
Menurut Plato filsafat adalah Pengetahuan tentang segala yang ada, sedangkan menurut Aristoteles filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda, Kant mendefinisikan filsafat dengan pokok pangkal segala pengetahuan dan pekerjaan. Fichte mendefinisikan filsafat sebagai ilmu-ilmu yang menjadi dasar segala ilmu. Dan terakhir Al-Farabi mendefinisikan bahwa filsafat adalah mengetahui semua yang ujud karena ia ujud, dan membagi filsafat menjadi dua yaitu : filsafat teori dan filsafat praktek.
Sedangkan menurut Endang Saifuddin Anshari mengemukakan bahwa filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud itu di luar atau di atas jangkauan ilm pengetahuan biasa. Filsafat juga diartikan dengan daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral serta sistemik hakikat sarwa-yang-ada : hakikat-hakikat yang diperdalam tersebut adalah : Hakikat Tuhan, hakikat alam semesta dan hakikat manusia. Sikap termaksud adalah konsekuensi dari pemahamannya.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir , filsafat adalah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Menurut Jujun Suriasumantri karakteristik berfikir filsafat ada tiga yaitu : menyeluruh, mendasar dan spekulatif.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat adalah berfikir tentang segala sesuatu dengan logis, radikal, menyeluruh, mendasar dan spekulatif.

2. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal yaitu : Objek filsafat, cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan filsafat).
a. Objek filsafat
Objek filsafat menurut Ahmad Tafsir sangat luas yaitu masalah-masalah yang ada atau mungkin ada (abstrak-rasional) Jadi objek filafat lebih luas dari objek sain yang hanya meneliti objek yang ada dan empiris.
b. Cara memperoleh pengetahuan filsafat
Pengetahuan filsafat diperoleh dengan cara berfikir secara mendalam tentang sesuatu yang abstrak, atau sesuatu yang konkrit tetapi di bagian belakangnya (behind the some thing-pendapat penulis) jadi abstrak juga. Alhasil cara memperoleh pengetahuan filsafat adalah dengan menggunakan akal.
c. Ukuran kebenaran filsafat
Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang logis tidak empiris. Ini menunjukan bahwa kebenaran filsafat adalah logis tidaknya pengetahuanitu. Bila logis berarti benar, bila tidak logis berarti salah. Untuk mengukur logis tidaknya dibutuhkan argumen atas satu teori, apabila argumennya logis berarti kebenaran konklusinya terjamin.

3. Aksiologi Filsafat
Berbicara aksiologi filsafat tidak akan terlepas dari dua hal yaitu : kegunaan pengetahuan filsafat dan cara filsafat menyelesaikan masalah
a. Kegunaan filsafat
Untuk mengetahui kegunaan filsafat dapat dilihat dari tiga hal yaitu :
1) Filsafat sebagai teori, maksudnya dengan mengetahui teori-teori filsafat yang ada sekarang, kita dapat menentukan sikap untuk menyukainya atau membencinya. Jangan bilang membenci suatu teori sebelum tahu lebih banyak tentangnya.
2) Filsafat sebagai metode pemecahan masalah, maksudnya adalah filsafat digunakan sebagai suatu cara atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal, filsafat selalu mencari sebab terakhir dari sudut pandang seluas-luasnya.
3) Filsafat sebagai pandangan hidup, maksudnya adalah filsafat mempengaruhi pandangan hidup penganutnya, sama halnya dengan agama karena pada tataran ini keyakinan yang berbicara.
b. Cara filsafat menyelesaikan masalah
Cara filsafat menyelesaikan masalah adalah dengan dua pola mendalam dan universal. Mendalam maksudnya masalah yang dihadapi diteliti dan dipikirkan asal usulnya mengapa masalah tersebut bias timbul. Universal maksudnya masalah yang dihadapi dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar penyelesaian yang diambil bias cepat dan berakibat luas






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu ( Bandung : Remaja Rosda Karya, 2010)
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam ( Bandung : Remaja Rosda Karya, 1993)
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu ( Bandung : Pustaka Setia, 2009 )
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama ( Surabaya : Bina Ilmu, 1991 )
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993 )
PPs UIN SGD Bandung, Pedoman penulisan Tesis dan Disertas ( 2010)
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara bekerjasama dengan Dirjen Bimbaga Islam, 1992 )

Hijab

Imam Irfa'i Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Raden Fatah Palembang
Bab I
Pendahuluan
Hukum kewarisan islam mengakui adanya prinsip keutamaan dalam kewarisan yang berarti lebih berhaknya seseorang atas harta warisan dibandingkan orang lain. Keutamaan dapat disebabkan oleh jarak yang lebih dekat kepada pewaris dibandingkan dengan orang lain, seperti anak lebih dekat dari cucu dan oleh karenanya lebih utama dari cucu dalam arti selama anak masih ada, cucu belum dapat menerima hak kwewarisan.
Keutamaan itu dapat pula disebabkan oleh kuatnya hubungan kekerabatan seperti saudara kandung lebih kuat hubungannya dibandingkansaudara seayah atau seibu saja, karena hubungan saudara kandung melalui dua jalur (ayah dan ibu) sedangkan yang seayah atau seibu hanya melalui satu jalur (ayah atau ibu).
Adanya perbedaan dalam tingkat kekerabatan itu diakui oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Anfal : 75
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
Artinya : “…orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesama didalam kitab Allah…”
Untuk lebih jelasnya akan kami bahas dalam bab berikutnya.
Bab II
Hisab dan bagian-bagiannya
A. Pengertian
Hijab dalam bahasa Arab ialah mencegah, menutup dan menghalangi. Orang yang menjadi penghalang atau pencegah dinakan hijab, sedangkan orang yang dicegah atau dihalangi ataupun ditutup dinamakan mahjub.
Menurut istilah ulama mawaris (faraid) ialah mencegah dan menghalangi orang –orang tertentu dalam menerima seluruh pusaka semuanya ataupun sebagiannya karena ada seseorang yang lain atau hijab.[1]
Sementara itu Hazairin memberi defenisi tentang hijab, yaitu semacam sistem keutamaan yang menentukan siapa yang berhak menyingkirkan orang lain ikut serta dalam mawaris.[2]
Sedangkan pemakalah mengartikan/mendefenisikan hijab yaitu menghijab atau menghalangi dari mendapatkan dan juga menerima pusaka semuanya atau sebagiannya karena ada seseorang yang lain. Dengan kata lain terhalangnya seorang yang berhak menjadi ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih utama dari padanya.
B. Sebab Yang Menghijab Atau Mendinding Menurut Hukum Waris Islam
  1. Sifat Khas Yang Ada Pada Seseorang
a). Perbedaan agama yaitu orang islam tidak mendapat pusaka dari orang yang kafir, demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw
لا ير ث المسلم الكا فر ولايرث الكا فر المسلم
Artinya : “orang islam tidak jadi waris bagi sikafir dan tidak pula sikafir jadi waris bagi orang islam” (HR. Bukhari)
b). Pembunuhan, yaitu orang-orang yang membunuh kelurganya tidak mendapat pusaka dari keluarga yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah saw :
ليس لقا ءل ميراث
Artinya : “tidak ada pusaka bagi sipembunuh” (HR. Malik)
c). Hamba (budak). Seorang hamba (budak) tidak mendapat pusaka dari tuannya atau orang merdeka.
d). Anak zina. Anak yang tidak sah tidak dapat menerima waris dari bapaknya.[3]
2. Kedudukan Seseorang
Yaitu orang yang lebih kuat atau lebih dekat kepada simayitb dari yang mahzub itu. Penghalang ini dapat mengurangi hak ataupun menghilangkan hak.
a). Mengurangi hak terhadap seluruh warisan
1). Mengurangi hak seperti anak terhadap suami. Jika ada anak, suami mendapat seperempat. Jkia tak ada anak hak suami mendapat setengah.
2). Mengurangi hak dengan jalan memindahkan hak dari bagian tertentu kepada bagian yang tidak tertentu. Seperti anak lelaki bagi anak perempuan jika ada anak lelaki maka hak anak perempuan menjadi setengah dari yang diperoleh oleh anak lelaki atau sepertiga.
b). Menghilangkan hak menerima pusaka. Hukum ini dapat berlaku terhadap segala waris yang selain darei enam orang, bapak, ibu, anak lelaki, anak perempuan, suami, dan istri.[4]
C. Macam-Macam Hijab
1) Hijab Hirman/ Hijab Penuh
Yaitu penghalang yang menyebabkan seorang ahli waris yang lain.[5]
Dengan kata lain tertutupnya hak warisan seseoarang ahli waris secara menyeluruh, dengan arti ia tidak mendapatkan apa-apa disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kepada pewaris daripada dirinya.
Ahli waris yang dapat terhijab secara penuh itu ialah ahli waris kecuali anak, ayah, ibu, dan suami atau istri. Kelima ahli waris ini tidak akan terhijab secara penuh. Sedangkan suami dan istri tidak pernah menghijab siapapun diantara ahli waris.
Tentang anak perempuan dan ibu menurut jumhur ahli sunnah tidak dapat menutup ahli waris lain secara hijab penuh. Ulama golongan syi’ah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalaam menghijab. Dalam arti keduanya dapat menghijab ahli waris lain secara hijab penuh sebagaimana yang berlaku terhadap anak laki-laki dan ayah.[6]
2) Hijab Nuqsan / Hijab Kurang
Yaitu penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian sesorang ahli waris,[7] dengan kata lain berkurangnya bagian yang semestinya diterima oleh seo rang ahli waris karena ada ahli waris lain.
Ketentuan tentang hijab nuqsan ini data terlihat secara nyata dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 11-12. secara umum dapat dikatakan bahwa setiap ahli waris yang berhak dapat terkena hijab nuqsan, namun tidak semua ahli waris dapat menghijab ahli waris lainnya secara hijab nuqsan.
Tentang siapa-siapa yang dapat terhijab nuqsan dan menghijab nuqsan serta berapa pengurangannya adalah sebagai berikut :
a) Anak laki-laki atau cucu laki-laki
· Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
· Suami dari ½ menjadi ¼
· Istri ¼ menjadi 1/8
· Ayah dari seluruh atau sisa harta menjadi 1/6
· Kakek dari seluruh atau sisa harta menjadi 1/6
b) Anak perempuan
· Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
· Suami dari ½ mebjadi ¼
· Istri ¼ menjadi 1/8
· Bila anak perempuan seorang, maka cucu perempuan dari ½ menjadi ¼
c) Cucu perempuan
· Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
· Suami dari ½ mebjadi ¼
· Istri ¼ menjadi 1/8
d) Beberpa orang saudara dalam segala bentuknya mengurangi hakm ibu dari 1/3 menjadi 1/6
e) Saudara perempuan kandung. Dalam kasus ini hanya seorang diri dan tidak bersama anak atau saudara laki-laki, maka ia mengurangi hak saudara perempuan seayah dari ½ menjadi 1/6.[8]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hijab dalam bahasa arab ialah mencegah, menutup dan menghalangi. Orang yang menjadi penghalang atau pencegah dinakan hijab, sedangkan orang yang dicegah atau dihalangi ataupun ditutup dinamakan mahjub.
Menurut istilah ulama mawaris (faraid) ialah mencegah dan menghalangi orang –orang tertentu dalam menerima seluruh pusaka semuanya ataupun sebagiannya karena ada seseorang yang lain atau hijab.
Sebab Yang Menghijab Atau Mendinding Menurut Hukum Waris Islam :
-Sifat khas yang ada pada seseorang
-Kedudukan seseorang
Macam-macam hijab :
Hijab hirman/ hijab penuh
Hijab nuqsan / hijab kurang
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah menyadari banyaknya kekurangan-kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisan. Untuk itu kami sebagai pemakalah sangat mengharapkan sekali baik itu kritikan, saran, ataupun masukan yang sifatnya membangun dan demi kemajuan masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddiegi, Teungku Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris, PT Pustaka Riski Putra, Semarang : 1997
Lubis, Suhrawardi K dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta : 1995
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam, Bina Pustaka, Jakarta : 1984
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Pranada Media, Jakarta :

[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiegy, Fiqih Mawaris. PT Pusaka Rizki Putra. H. 118
[2] Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam, Bina Pustaka, H. 59
[3] Ibid. h,. 59-63
[4] Op. cit. h. 188-189
[5] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam. Sinar Grafika. H. 86
[6] Amir syarifudin. Hukum kewarisan islam, kencana pranada media. Hal. 201
[7] Opcit hal. 87
[8] Opcit hal. 202-203

Sabtu, 05 Mei 2012

Makalah Hubungan antara ilmu dengan filsafat

Makalah

Hubungan antara Ilmu dengan Filsafat 

Imam Irfa'i 

Mahasiswa  fakultas dakwah dan komunikasi

IAIN Raden Fatah Palembang

 

MUQODIMAH

Sebelum penulis membahas tentang bagaimana hubungan antara ilmu dengan filsafat agar ada kejelasan kita harus tahu apa itu yang dinamakan dengan ilmu dan apa yang dinamakan filsafat.

1.Pengertian Ilmu

Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama. Arti dasar dari kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan bahasa Asli Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, Scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan. Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire yang artinya mengetahui. Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika benar ilmu disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris, maka pengertiannya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa Indonesia, kata dasarnya adalah “tahu”. Secara umum pengertian dari kata “tahu” ini menandakan adanya suatu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman tertentu yang dimiliki oleh seseorang.
Pendapat yang sama diungkapkan M. Quraish Shihab. Ia berpendapat bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, ilm. Arti dasar dari kata ini adalah kejelasan. Karena itu, segala bentuk kata yang terambil dari kata ‘ilm seperti kata ‘alm (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alam (gunung-gunung) dana ‘alamat mengandung objek pengetahuan. Ilmu dengan demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Athur Thomson mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana. S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta. Kamus bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Kamu ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir dan bathin.
Poincare menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi (science consist entirely of convertions in the sence of disguised definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan Poincare ini, harus pula diakui memperoleh penolakan dari berbagai ahli. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa pikiran Poincare ini merupakan kesalahan besar. Le Ray seolah menjadi antitesis dari pemikiran Poincare. Le Ray misalnya menyatakan bahwa “Science consist only of consecrations and it is solely to this circumstance that is owes its apparent certainly”. Le Ray juga menyatakan bahwa science cannot teach us the truth, it’s can serve us only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang kebenaran, ia hanya menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat.7 Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka, kandungan ilmu berisi tentang; hipotesa, teori, dalil dan hukum.
Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling berkaitan secara logis.
Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodik serta tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminology ilmiah.

2.Pengertian Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah.
Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Makna ini kemudian berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta kebijaksanaan”. Pythagoras menyatakan: “cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.”
Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.
Harun Nasution beranggapan bahwa kata filsafat bukan berasal dari struktur kata Philos dan shopia, philos dan shophos atau filosofen. Tetapi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang struktur katanya berasal dari kata philien dalam arti cinta dan shofos dalam arti wisdom. Orang Arab menurut Harun memindahkan kata Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabi’at susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wajan) fa’lala, fa’lalah, dan fi’la. Berdasarkan wajan itu, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafat atau Filsaf.11
Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab. Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:
1.Pengetahuan tentang hikmah
2.Pengetahuan tentang prinsip atau dasar
3.mencari kebenaran
4.Membahas dasar dari apa yang dibahas
Ali Mudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris), Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata itu, berasal dari bahasa Yunani Philosphia. Kata philosophia sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu Philien, Philos dan shopia. Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, menurut Ali Mudhafir ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda)

3.Hubungan Antara Ilmu dan Filsafat

Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat juga perbedaan di antara keduanya.
Di zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”. Tetapi masalahnya betulkah demikian?
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen.13 Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung Spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi.14 Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yang koprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu.
Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, yang kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa antara ilmu dan filsafat ada persamaan dan perbedaannya.
Perbedaannya ilmu bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan filsafat bersifat priori kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian, sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena filsafat bersifat spekulatif.
Di samping adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya. Selanjutnya kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi perbaikan penulisan selanjutnya.